Menganalisis Data Perberasan Perlu Kecermatan

By Admin


nusakini.com - Peneliti Suropati Syndicate, Alhe Laitte menyampaikan publik hendaknya berhati-hati dalam menganalisis data beras. Sebab, kedangkalan dalam menganalisis bisa berdampak pada pemberian informasi yang keliru.

Alhe mengatakan hal itu guna menanggapi pernyataan Guru Besar Fakultas Pertanian IPB sekaligus Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonedia (AB2TI) Prof Dwi Andreas tentang buruknya tata kelola beras dalam sebuah pemberitaan di media cetak. Menurut Alhe, data yang digunakan Andreas patut diragukan.

"Justru saya meragukan metodologi dan validitas data pangan dari AB2TI pada 60 kabupaten terus digeneralisasikan seolah berlaku nasional. Saya yakin data 60 kabupaten itu tidak presisi menggambarkan kondisi nasional. Semua orang paham, pertanian Indonesia sangat luas dengan karakteristik beragam antar wilayah," kata Alhe

Karena itu Alhe menyarankan agar ada analisis terhadap parameter lain untuk memperkuat justifikasi data produksi beras. Misalnya, data stok beras, data pasokan beras ke pasar, harga beras, data importasi dan lainnya.  

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi padi 2015 naik 6,42 persen. Komoditas pangan lainnya juga naik. Karena itu, kata Alhe, keraguan Andreas terbantahkan dan terkonfirmasi dengan data parameter lain.

Pertama, data survei BPS menunjukkan stock beras 2015, pada Maret 2015 sebesar 8,07 juta ton yang tersebar di rumah tangga, penggilingan, pedagang, horeka dan di BULOG. Sedangkan stok Juni 2015 menjadi 9,69 juta ton dan September 2015 sebesar 8,12 juta ton.  

"Artinya walaupun 2015 musibah paceklik akibat el-Nino SST Anom 2,950C tertinggi selama ini, ternyata kebijakan, langkah antisipasi dan gerak cepat pemerintah mendistribusikan pompanisasi di sungai sungai dan menanam di lahan rawa, lebak, pasang surut yang potensial saat kering, terbukti mampu memproduksi padi secara signifikan dan tersedia stock beras cukup," ungkap Alhe.

Selanjutnya merujuk parameter kedua tentang data pasokan ke pasar. Pemasukan beras harian dan stok beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) menunjukan peningkatan selama tahun 2014-2016.

Pemasukan beras tahun 2015 total 954.991 ton lebih tinggi dari 2014 sebesar 812.974 ton. Demikian juga stok beras PIBC 2016 rerata 44.785 ton per bulan atau lebih tinggi 19,8 persen dibandingkan 2015 sebesar 37.390 ton per bulan.

Pada 2015, stok beras PIBC lebih tinggi 32,4 persen dibandingkan 2014 sebesar 28.250 per bulan. "Data di 10 pasar besar lainnya juga menunjukan stok beras di pasaran melimpah pada 2015 dan meningkat lagi pada 2016," tutur Alhe.

Parameter ketiga adalah tentang harga. Alhe mengatakan, sebaiknya berhati-hati menganalisis harga beras dikaitkan produksi.

Menurut Alhe, uji statistik menunjukkan tidak ada korelasi jumlah pasokan beras dengan harga eceran. Pembentuk harga beras eceran antara lain sistem distribusi, logistik, tata niaga, struktur dan perilaku pasar.

Kondisi stok beras di pasaran melimpah di saat paceklik Januari-Februari 2016 menunjukkan ada surplus pada akhir 2015 dan diindikasikan beras pada November 2015-awal Januari 2016 sembunyi ada di gudang-gudang. Sedangkan tindakan segelintir orang baik kartel, tengkulak ataupun spekulan yang menahan stok di saat paceklik sehingga harga melambung tinggi Rp 9.000-Rp 12.500 per kilogram dan melepas stok menjelang musim panen raya sehingga harga beras jatuh Rp 7.500-8.500/kg merupakan perilaku pasar yang tidak sehat.

"Berkaitan dengan harga beras, Andreas kan hanya menyajikan data harga yang tinggi pada bulan tertentu saja sejak Oktober 2014 sampai Februari 2016. Ini buktinya analisis data BPS series bulanan harga eceran rerata tahun 2014 meningkat 0,62 persen, 2015 kenaikannya semakin melambat menjadi 0,57 persen dan pada 2016 boleh dikatakan stabil karena hanya naik 0,08 persen. Ini kan artinya harga eceran beras dari tahun ke tahun menunjukkan mengarah ke stabil. Bahkan Pemerintah pada bulan Puasa dan Idul Fitri berhasil menjaga harga pangan stabil, ya stabilitas harga saat Lebaran ini seumur umur tidak terjadi," sebut Alhe.

Parameter keempat adalah impor. Alhe mengatakan, Andreas menyajikan data impor beras tahun 2014 sebesar 0,84 juta ton, 2015 sebesar 0,86 juta ton, 2016 sebesar 1,28 juta ton serta 2017 sebesar 71 ribu ton.

Untuk itu, Alhe menyesalkan Andreas tidak menganalisis data sehingga seolah terjadi impor semakin tinggi meski faktanya tidak demikian. "Impor beras 2016 itu sebagian besar masuk pelabuhan Indonesia awal 2016 dan dicatat BPS pada 2016. Itu adalah beras medium luncuran impor BULOG dari kontrak Oktober 2015," jelasnya.

Sesuai data Kode HS yang terlihat impor beras 2017 sebesar 71 ribu ton, katanya, menunjukkan bukan beras medium, tetapi beras pecah, menir, sake beras dan lainnya. Data Kementerian Perdagangan juga menyebut sejak awal 2016 hingga sekarang tidak mengeluarkan izin impor beras medium.

Demikian juga data impor jagung sejak Januari 2017 hingga sekarang itu jumlahnya kecil 93 ribu ton. Itu pun impor tepung jagung, bibit, minyak dari jagung, bungkil dan lainnya.

“Pemerintah pada 2017 tidak menerbitkan izin impor jagung pakan ternak dan tidak ada impor jagung untuk pakan ternak," ujar Alhe.

Lebih lanjut Alhe juga menepis anggapan yang menyebut kesejahteraan petani terus menurun sejak empat tahun terakhir. Buktinya, dengan beberapa indikator yaitu pertama, data Nilai Tukar Petani (NTP) Nasional 2015 sebesar 101,59 dan naik 2016 menjadi 101,69, sedangkan Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) 2015 sebesar 107,45 naik 2016 menjadi 109,93. 

Kedua, sebagian besar petani tinggal di desa. Sesuai data BPS, jumlah penduduk miskin di perdesaan pada Maret 2015 sebanyak 17,94 juta jiwa, sedangkan pada Maret 2016 turun menjadi 17,66 juta jiwa dan Maret 2017 menjadi 17,09 jiwa.

Ketiga data Gini Rasio di pedesaan pada Maret 2015 sebesar 0,334, sedangkan pada Maret 2016 menjadi 0,327 dan turun lagi pada Maret 2017 menjadi 0,320. "Dari data ini kan turut mengonfirmasi bahwa petani di desa semakin sejahtera," paparnya.

Di tempat terpisah, Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian (Kementan) Suwandi mengatakan, guna meningkatkan kualitas data pangan, sejak dua tahun lalu kementerian yang dipimpin Andi Amran Sulaiman itu menjalin kerja sama dengan LAPAN untuk mengembangkan teknologi satelit sebagai alat bantu dalam memantau luas dan sebaran pertanaman padi se Indonesia.

Data tabular dan spasial luas tanam dan luas panen serta standing-crop dipantau dengan citra satelit-8 LAPAN resolusi 1 pixel setara 900 m2 dan resolusi temporal 16 hari sekali. Data diolah komputerisasi sehingga minimalisir personal eror dan disajikan secara transparan bisa diakses di https://sig.pertaian.go.id

Untuk diketahui satu satunya lembaga statistik resmi yang memiliki otoritas dan kompeten adalah BPS. Dan sesuai kebijakan Pemerintah tentang “satu data dan satu peta”, maka data pangan hanya satu bersumber dan dikoordinasikan BPS.

Sedangkan satu peta dikoordinasikan oleh BIG. BPS telah bekerja sama dengan BPPT dan instansi terkait mengembangkan metode pendataan pangan dengan Kerangka Sampling Area (KSA). 

"Jadi bila ada pihak lain yang merasa memiliki data pangan maupun metodologi silahkan dikomunikasikan dengan BPS," tandas Suwandi.(p/ma)